Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.
- Jaman kuno (125 M – 1125 M)
- Madya kuno ( 1126 M – 1250 M)
- Sepuh tengahan (1251 M – 1459 M)
- Tengahan (1460 M – 1613 M)
- Nom (1614 M – 1945 )
- Kamardikan (1945 – sekarang)
Baik periodisasi keris maupun periodisasi kerajaan di Indonesia memang diakui memiliki berbagai versi. Hal ini semakin menambah khazanah pengetahuan dari sudut pandang manakah kita akan mempelajarinya.
Pada Jaman kuno, periodisasi keris masih dibagi dua masa, yaitu masa kadewatan dan masa kabudan.
Dalam buku-buku tentang keris dikenal masa Kadewatan, yaitu salah satu periodisasi dalam dunia perkerisan di Pulau Jawa. Sebagian pecinta keris menganggap Jaman Kadewatan adalah imajiner, tidak nyata dan tidak pernah nyata. Sebagian buku-buku kuno yang memuat tentang keris, seolah memberi gambaran bahwa keris itu asal mulanya adalah senjata para dewa, dan dibuat oleh empu-empunya kahyangan (Ensiklopedi Keris, 2011).
Sebagian pecinta keris menganggap bahwa era Kadewatan adalah Jaman tertua dalam periodisasi keris. Namun ada juga yang menganggap bahwa Jaman tertua dalam periodisasi keris ialah Jaman Kabudan.
Penyebutan Jaman pada dunia perkerisan memang tidak sama dengan penyebutan Jaman pada periodisasi kerajaan di Indonesia.
Jika Jaman Kadewatan itu berlangsung sebelum abad ke-6, maka kerajaan-kerajaan yang tercatat dalam sejarah di Pulau Jawa pada masa itu ialah Salakanagara (130-362), Tarumanagara (358–669), Kendan (536–612). Pada masa itu empu-empu yang terkenal ada beberapa yaitu :
- Empu Ramahadi atau juga disebut empu Ramadi, beliau hidup di Jaman Jawa Kanda (sekitar tahun 125). Dalam cerita rakyat beliau dianggap sebagai salah satu empu ketuunan dewa. Karyanya berupa 3 keris yang diberi nama : Sang Lar Ngatap, Sang Pasupati dan Sang Cundrikarum.
- Empu Sakahadi atau juga disebut empu Iskadi. beliau hidup di Jaman Medang Siwandata dan mengabdi pada prabu Dewakenanga. Beliau dititahkan untuk membuat keris yang sakti. Dalam satu tahun empu Sakahadi berhasil mewujudkan keinginan sang prabu. Keris ciptaannya dinamakan Sang Jalakdinding atau disebut juga Sang Jalakjinjing. Keris ini diciptakan sekitar tahun 216. Ketenaran sang empu Sakahadi membuat sang Prabu membunuhnya.
- Empu Sukmahadi, hidup di sekitar tahun 230 (Jaman Tulyanto) dan menetap di Jawa Timur. Beliau membabar satu pusaka saja yang diberi nama Sang Kala Hamisani. Setelah menciptakan (istilah dalam perkerisan : membabar) pusaka tersebut, beliau tidak lagi mau menjadi empu, sebab memiliki firasat bahwa karyanya pasti merenggut nyawa orang lain. Oleh sebab itu beliau memilih untuk mengasingkan diri ke pulau Bali mendekati puncak gunung Merbuk.
- Empu Bramakedali, beliau hidup di Jaman Medang Kamulan, sekitar tahun 261. Karyanya ada 2 bilah pusaka yang diberi nama Sang Balebang dan Sang Tilam Upih. Konon empu Bramakedali kurang senang dengan Sang Tilam Upih hingga pusaka tersebut dibungkus dengan klaras (daun pisang) kemudian dilarung di Laut Selatan.
- Empu Saptagati, beliau hidup di Jaman Gilingwesi (sekitar tahun 165) bersama Prabu Naradigda. Beliau membabar 3 bilah pusaka yang diberi nama : Sang Jaka Serang, Sang Supana Sidik, dan Sang Jantra. Beliau mencapai umur lebih dari 100 tahun dan meninggal sekitar tahun 265.
- Empu Pujagati, beliau hidup pada Jaman negeri Purwacarita, sekitar tahun 418. Ada 2 pusaka yang belia ciptakan yaitu : Sang Supanaluk (sempana luk), Sang bango Dholog.
- Empu Sanggagati, beliau hidup di negeri Purwacarita sekitar tahun 420. Empu tersebut merupakan murid dari empu Pujagati yang dipercaya untuk meneruskan bakat sang guru. Setelah empu Pujagati meninggal dunia, barulah empu Sanggagati berani menciptakan keris buatannya sendiri. Keris ciptaannya ada dua bilah yaitu keris yang memiliki lekuk atau luk dinamakan Sang Karagan dan keris yang lurus dinamakan Sang Setan Kobar.
- Empu Dewayasa I, beliau hidup di Jaman negeri Wiratha, atau ada yang menyebut negeri Japara sekitar tahun 522. Ada 3 pusaka yang beliau ciptakan yaitu : Sang Ron Bakung, Sang Yuyurumpung dan Sang Dadapngerak. Empu Dewayasa I diperkirakan berasal dari negeri Jambudwipa (India).
- Empu Dewayasa II, beliau hidup di Jaman Purwacarita ketiga, beliau merupakan cucu dari empu Dewayasa yang pertama, beliau menciptakan 3 bilah keris pusaka yang bentuknya sama persis dengan pusaka buatan empu Dewayasa I. Pusaka tersebut dibuat secara bersamaan, namun penamaannya yang berbeda dari nama pusaka buatan empu Dewayasa I. Adapun keris pusaka buatan empu Dewayasa II ialah : Sang Carubuk, Sang Kebolajer, dan Sang Kabor.
Adapun masa kabudan ini terjadi sekitar abad ke-6 sampai 9 atau 10, yakni seperiode dengan masa-masa pembangunan candi Borobudur sampai dengan masa kerajaan Kahuripan (Ensiklopedi Keris, 2011). Dari periodisasi kerajaan di atas dapat kita simpulkan bahwa masa kabudan berlangsung di era kerajaan Galuh (612-1528), Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7), Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13), Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9), Medang (752–1006), dan Kahuripan (1006–1045).

Pada masa kabudan ini empu pencipta keris diantaranya ialah :
1. Empu Mayang (725)
Karya empu Mayang ialah Sang Carubuk, Kebo Lajer dan keris Singha. Dari nama keris yang diciptakan bisa jadi empu Mayang ialah empu Dewayasa II.
2. Empu Sarpadewa
Beliau hidup pada masa negeri Mamenang, karyanya berupa 3 bilah keris pusaka yang diberi nama Sang Cengkrong, Sang Damarmurup, Sang Carita. Ada kisah tentang empu Sarpadewa yang terkenal yaitu saat beliau didatangi seorang dari negeri tetangga dan dimohon untuk membuatkan keris pusaka untuk orang tersebut. Karena kecantikan si pemesan yang juga seorang nahkoda kapal, empu Sarpadewa kemudian jatuh cinta. Dengan segera empu Sarpadewa mewujudkan keris pusaka yang dipesan oleh perempuan itu. Pembuatan keris pusaka ini ternyata diketahui oleh raja Mamenang dan membuat murka sang raja. Empu Sarpadewa akhirnya diusir keluar dari negeri tersebut, dan keris pusaka diserahkan kepada sang nahkoda kapal.
3. Empu Ramayadi
Beliau hidup sekitar tahun 827, karyanya ada tiga bilah pusaka yaitu Sang Pandawa, Sang Kresna Tanding, dan Sang Bhimakroda. Empu Ramayadi bukanlah penduduk asli negeri Mamenang namun berasal dari negeri lain. Karena kepandaiannya dalam bergaul dan melebur dalam kebudayaan negeri Mamenang, beliau merasa diterima sebagai warga Mamenang.
4. Empu Gadawisesa
Beliau hidup sekitar tahun 941 dan berhasil menciptakan dua bilah keris pusaka, yaitu Sang Megantara dan Sang Rarasjiwa atau disebut juga Rarasduwa, ada juga yang menyebutnya keris Lara Siduwa. Adapun pembuatan kedua keris pusaka tersebut atas titah Prabu Citrasoma di Pengging.
5. Empu Windudibya
Beliau hidup sekitar tahun 1119, adapun keris pusaka yang diciptakan ialah Sang Panjisekar, Sang Carangsoka, Sang Panjianom, dan Sang Sekargading. Keris-keris pusaka tersebut dibuat atas titah Prabu Amiluhur di Jenggala.
6. Empu Kandangdewa
Beliau hidup pada masa Kahuripan yaitu sekitar tahun 1045. Empu Kandangdewa diyakini masih satu perguruan dengan empu Kanwa, namun empu Kanwa lebih memilih menekuni dunia kesusastraan karena menganggap apapun yang berwujud senjata akan menimbulkan peperangan. Pada masa Kahuripan dipimpin oleh Airlangga empu Kanwa telah menciptakan karya sastra agung yang berjudul Arjuna Wiwaha. Ada cerita yang menarik tentang empu Kandangdewa, yaitu saat beliau melakukan suatu perjalanan dan bertemu dengan seorang pertapa yang bernama Sang Jatinindra. Sang Jatinindra tak lain ialah Airlangga yang merupakan raja Kahuripan. Dalam pertemuannya itu Sang Jatinindra menyarankan agar empu Kandangdewa untuk mengabdikan dirinya ke negeri Jenggala. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa pada sekitar akhir tahun 1042, raja Airlangga membagi kerajaannya menjadi dua, yaitu bagian barat bernama Kadiri beribu kota di Daha, diserahkan kepada Sri Samarawijaya, serta bagian timur bernama Janggala beribu kota di Kahuripan, diserahkan kepada Mapanji Garasakan. Setelah turun takhta, raja Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Untuk menyamarkan namanya maka raja Airlangga menggunakan nama Sang Jatinindra. Dalam rentang waktu satu tahun, empu Kandangdewa telah berhasil menciptakan tiga bilah pusaka, yaitu Sang Sabukinten, Sang Jalak, dan Sang Kalawelang.
7. Empu Windusarpa
Beliau hidup sekitar tahun 1000 – 1100. Keris pusaka yang dibuat oleh empu Windusarpa ada tiga bilah, yaitu Sang Barojol, Sang Bethok, dan Sang Larbango. Empu Windusarpa diyakini ialah nama lain dari empu Kandangdewa (berdasarkan keris yang dibawa saat menghadap prabu Jayengrana). Ada cerita saat pertama kali empu Kandangdewa menghadap ke Prabu Jayengrana raja Jenggala saat itu, sang prabu terperanjat karena seakan-akan ia melihat seekor ular yang melilit tubuh empu Windusarpa. Namun ternyata bukanlah ular yang melilit tubuh empu Kandangdewa, melainkan keris pusaka Sang Kalawelang. Dan sejak saat itu empu Kandangdewa diterima mengabdi di kerajaan Jenggala dan mengubah namanya menjadi empu Windusarpa.
8. Empu Wareng
Keris pusaka yang dibuat empu Wareng sekitar tahun 1100 – 1103 pada masa Pengging Witaradya. Ada tiga bilah keris pusaka ciptaannya yaitu Sang Lunggadung, Sang Pandawa Lare, dan Sang Supana. Namun setelah menciptakan ketiga bilah pusaka itu, beliau meninggal dunia sehingga tidak ada lagi keris yang diciptakannya.
9. Empu Gandawijaya
Empu gandawijaya hidup seJaman dengan empu Wareng yaitu pada masa Pengging Witaradya. Beliau menggantikan kedudukan empu Wareng sebagai empu kepercayaan sang raja. Sepeninggal empu Wareng tidak ada satupun empu yang menciptakan keris di negeri tersebut. Dan pada tahun 1125 empu Gandawijaya mulai menciptakan keris pusaka. Dan selama hidupnya empu Gandawijaya hanya membuat tiga bilah keris yaitu Sang mengeng, Sang Carubuk, dan Sang Buntala. Selain itu empu Gandawijaya juga membuat keris patrem, yaitu keris yang berukuran kecil dan diperuntukkan kaum perempuan. Adapun keris patrem yang beliau ciptakan ialah Nyi Carangbuntala, Nyi Pulut Benda, dan Nyi Puthut.
Jika pada masa lalu keris digunakan sebagi senjata dalam sebuah peperangan, namun pada perkembangan selanjutnya keris mengalami perluasan fungsi. Keris dipandang sebagai senjata untuk menempuh kehidupan.
Masa Madya kuno / Kuno Pertengahan ( 1126 M – 1250 M)
- Empu Windusarpa : oleh Prabu Kuda Lalean ia diperintahkan membuat keris dapur Brojol dan Bethok disamping membuat duplikat (putran) pusaka-pusaka buatan sebelumnya.
- Empu Andayasangkala : merupakan anak dari Windusarpa, Keris Pusaka buatannya berwatak keras dan sering dipergunakan untuk membunuh musuh. Oleh Prabu Banjaransari, Empu ini diperintahkan membuat Keris Pusaka dhapur Tilamupih dan Parungsari disamping membuat putran yang sudah ada.
- Empu Kajatsari : merupakan anak dari Andayasangkala, oleh Prabu Mundingsari ia diperintahkan membuat keris dhapur Sinom dan Wora-wari disamping membuat duplikat keris-keris yang sudah ada.
- Empu Kajatjatiwasesa : merupakan anak sulung dari Kajatsari.
- Empu Bramakedhi atau Brahmakendhi : merupakan anak kedua Kajatsari.
- Empu Kekep : seperti Empu Bramakedhi, dalam membuat Keris Pusaka, Empu ini selalu mengerjakan di lautan. Konon percikan apinya dapat menimbulkan penyekit cacar, sedangkan debunya dapat menyebabkan bisul cacar air dan gabagen/campak. Menurut kepercayaan kuno, penderita penyakit tersebut harus memanggil Empu Kekep da Empu Bramakendhi untuk menyembuhkannya.
- Empu Anjani : merupakan anak Bramakedhi, terkenal suka bertapa di puncak gunung. Prabu Gandakusuma atau Sri Pamekas di Pajajaran memerintahkannya untuk membuata duplikat dari Keris dhapur kuna dan menciptakan keris dhapur Jalakngore dan Caritakalenthang.
- Empu Marcukundha, Empu Manca dan Kuwung : ketiganya pernah mengabdi pada Prabu Siyungwanara atau Maharaja Sakti di Pajajaran. Marcukundha membuat tombak dhapur Sigarjantung, Gereh Pethek, Ron Pring, Barengkeng dan Prajurit. Semua tanpa pamor, hanya besi dan baja, sifatnya ampuh meskipun tidak disepuh.
- Empu Sanggabumi : merupakan anak sulung dari Marcukundha yang berkelana di tanah seberang dan kemudian menetap di Minangkabau. Karyanya berupa pedang Minangkabau yang sangat ampuh.
- Empu Manca : merupakan anak kedua dari Empu Marcukundha, buatannya berupa pedang, golok, towok dan panguntik. Semua berpamor Beras Wutah dan halus sekali, Semuanya disepuh dilat dan amat ampuh.
- Empu Kuwung : merupakan anak dari Empu Manca. Hasil karyanya biasanya juga cantik. Besinya ngelar glathik atau seperti kaca. Bersama Empu Manca, dia diperintahkan membuat putran pusaka kuna-kuna dan membuat Keris Pusaka dhapur Jangkung dan Pandhawa Cinarita.
- Empu Hangga atau sering disebut Hangga Tapan karena tinggal di Desa Tapan. Hasil karyanya semua kering seperti dijemur dan nglugut (seperti kawat-kawat halus). Suatu hari ia mendapat bisikan untuk membuat Keris di lautan dan berganti nama menjadi Empu Singkir. Hal itu terjadi di Jaman Majapahit, beliau diperintahkan semingkir dari rumahnya. Keris buatannya bertuah menolak api dan air. Ia pernah diperintahkan membuat keris dhapur Jala Sangu Tumpeng, Jalak Sumelang Gandring, Mangkurat dan Mangkunegarr
- Empu Keleng : Empu Keleng kemudian disebut Empu Kasa, anak ketiga Empu Manca. Keris buatannya nglugut dan pamornya patah-patah/nungkak.
- Empu Keleng juga disebut Wanabaya di Pituruh atau Empu Kasa di Madura. Merupakan adik dari Empu Kuwung. Semua keris nyatanpa pamor, hanya besi dan baja (kelengan). Sewaktu Muda Ia masuk dalam jaman Pajajaran. Keris buatannya berdhapur Sempana dan Jangkung. Ganja mengkurep, tengah bilang diolah bersih. Tombak karyanya : Ron Pring. Ron andhong, Gereh Pethak, Sigar Jantung dan Banyak Angrem. Walaupun tanpa pamor tetapi sangat ampuh, dewasa ini sulit menemukan karya Empu Keleng.
- Empu Nimbok Sombro : merupakan Empu wanita yang merupakan anak dari Empu Manca. Pembuatan tosan aji tanpa api dan peralatan pandai besi. Karya Kerisnya berupa dhapur Jalak Ngore, Tilam Upih, Sinom, Sepokal. Kebo Teki, Kebo Lajer, ciri-cirinya : ganja mengkurep, gandhik pendek, dhapur yang terkenal : dhapur brojol dengan bekas-bekas pijitan jari dan besi utiran dengan lubang di ujungnya.
- Empu Jigja di Mojolangu, putera Empu Singkir. Hampir semua buatanya mempunyai pesi ngandel meteng. Dhapur keris yang dibuat : Sempaner, Paniwen, Pendhawa, Brojol. Besinya halus dan berpamor. Warnanya hitam seperti ular dumung (Hitam). Ganja menngkurep, sangat ampuh. Jika tombak berdhapur : Kudhup, Totog, Cekel, Sadak Upas, Pecoksahang. Tosan Aji karyanya berwatak ampuh.Yang ketempatan selalu didekati rejeki dan keberuntungan.
- Empu Angga atau Tapan atau Singkir atau Mendhe, berasal dari Pajajaran. Keris Tilam Upih karyanya berciri gandhik panjang besar (landhung). Ganja pendek, kanan kiri diberi alur (Kruwingan). Pesi pipih. Empu ini terkenal membuat Keris Singkir Air maupun Api. Kebanyakan tosan aji singkir karyanya ini pendek, banyak yang panjangnya hanya satu jengkal saja atau kurang. Tetapi terkenal ampuh.
- Empu Dhomas : merupakan Empu kraton Majapahit jaman Brawijaya V (1429 Saka) membuat keris dhapur Panimbal, Jaruman, Sepokal, Nagasasra, Butoijo, Mendarang, Sabuk Inten dan Anoman. Ada yang menduga istilah Dhomas dimaksud sebagai kumpulan Empu.
- Empu Sedhah : merupakan anak dari Empu Kalunglungan dari Blambangan.
- Empu Supomadrangi : merupakan anak dari Empu Sodhah, kemudian lebih terkenal dengan sebutan Empu Supo atau Empu Jakasupa I, di kemudian hari diangkat menjadi Pengeran Sendhang Sedayu. Empu Supomadrangi juga dikenal dengan sebutan Ki Pitrang di Blambangan. Jadi Supo merupakan Supomadrangi merupakan Jakasupa I merupakan Pangeran Sendhang Sedayu merupakan Ki Pitrang (Blambangan). Jakasupo I beradik Kebodhag dan Supogati. Waktu muda Jakasupa I bertapa di Tuban. Alkisah Prabu Brawijaya sangat sedih karena kehilangan keris Kanjeng Kyai Sumelanggandring sewaktu penyerbuan di Pajajaran. Keris Pusaka itu terbawa oleh Prabu Bayu Sangara dari Blambangan. Raja Brawijaya kemudian memerintahkan mengumpulkan para Empu setanah Jawa, namun tidak ada yang sanggup menemukan Keris Pusaka yang hilang tersebut. Kemudian Jakasupa I diperintahkan mencari dan jika berhasil dijanjikan mendapatkan tanah seluas 500 karya di Tuban dan mendapatkan Puteri Keraton, disamping itu mendapatkan gelar Pangeran. Dalam perjalanannya, Jakasupa ditemani adiknya Supagati dan berganti nama menjadi Ki Pitrang. Mereka berdua sewaktu menuju Blambangan, juga membuat keris dhapur Pandhawa, Sempaner, Carangsoka dan Tilam Upih. Setibanya di Blambangan, ia disebut juga Empu Rambang karena membuat tosan aji di lautan. Rambang berhasil membuat duplikat Kanjeng Kyai Sumelanggandring yang berada di Keraton Blambangan sebanyak 2 buah. Yang tiruan dihaturkan kepada Sang Raja, sedangkan yang asli dibawa pulang Kerajaan Majapahit. Raja Blambangan karena puas menghadiahi Jakasupa I dengan adik perempuannya yang bernama Raden Ayu Upas. Sewaktu hamil 7 bulan, Ia di tinggal pulang ke Kerajaan Majapahit. Setiba di Majapahit, keris pusaka asli itu dikembalikan ke Prabu Brawijaya. Jakasupa kemudian diberi hadiah puteri da tanah di Sedayu. Ia diangkat menjadi pangeran dan kemudian bergelar Pangeran Sendhang Sedayu. Karya Empu Sedayu alias Jakasupa I ini berciri indah tetapi wingit, berpamor sanak, halus, berguwaya lungid hitam, terkadang jika luk kemba (hambar).
- Empu Supogati : merupakan adik dari Jakasupa I yang ikut ke Blambangan. Sepulang dari sana, Ia mendapat hadiah seorang puteri dan tanah seluas 100 karya dan diberi pangkat mantri. Beliau bermukim di Majapahit dan diberi sebutan Empu Supadi.
- Empu Jakasura : merupakan anak dari Jakasupa I ketika di Blambangan, kemudian menyusul ayahnya di Majapahit. Sepanjang perjalanan Ia membuat keris dhapur bethok yang diberi lubang agar dapat di renteng dengan tali. Ia berhasil bertemu dengan ayahnya di Sedayu dan diabadikan ke Keraton Majapahit.
- Empu Dana : merupakan anak dari Empu Pethet. Hanya membuat pedang berpamor tambal.
- Empu Wanawasa : merupakan anak dari Empu Dana yang kemudian pindah ke Cirebon di Jaman Majapahit. Hanya membuat pedang-pedang pendek.
- Empu Sokawiyana : merupakan anak dari Empu Wanawasa yang berdiam di Karang. Keryanya hanya berupa pedang pendek, bengkok tetapi sangat tajam. Model pedang ini kemudian ditiru dengan ukuran lebih besar yang kemudian terkenal dengan nama dhapur Sokayana (Sokawiyana).
- Empu Wangsa di Tembayat pindah dari Tuban. Hidup di jaman Majapahit. Hanya membuat keris Tilam Upih dan Tombak. Anaknya dua : Wanagati dan Surawangsa.
- Empu Gedhe di Bayumas, merupakan anak dari Empu Loning di Jaman Majapahit. Karyanya berupa keris dhapur Balebang, Brojol, dan Tilam Upih. Ganja : mengkurep, Pemor : penuh, semuanya putih, Besi : Putih, mirip karya Sombro. Jika tombak : dhapur ron pring, sigar jantung, gereh pethek. Diberi menthuk seperti angkup kelopak (kuncup bunga). Sangat bagus untuk pemimpin pamong praja dan militer. Dijaman Sultan Agung, tombak ini banyak disarasah dengan emas.
Tangguh Sepuh Tengahan / Tua Pertengahan (1251 M — 1459 M)
- Jaman Kerajaan Jenggala, Empunya adalah Mpu Sutapasana.
- Jaman Kerajaan Kediri, Empunya adalah :
- Jaman Kerajaan Majapahit, Empunya adalah:
- Jaman Tuban/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
- Jaman Madura/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan dan Mpu Kebolungan.
- Jaman Blambangan/Kerajaan Majapahit, Empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
Tangguh Tengahan / Pertengahan (1460 M – 1613 M)
- Jaman Kerajaan Demak, Empunya adalah: Mpu Joko Supo.
- Jaman Kerajaan Pajang, Empunya adalah Mpu Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
- Jaman Kerajaan Mataram, Empunya adalah: Mpu Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu Warih Anom dan Mpu Madrim.
Tangguh Nom / Muda (1614 M – 1945)
- Jaman Kerajaan Kartasura, Empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
- Jaman Kerajaan/Kasunanan Surakarta, Empunya : Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
Dari keris-keris lurus hingga keris-keris yang ber-luk. Ditambah dengan beraneka macam ragam hias pada bilahannya. Semua menuju ke arah maju, tetapi tidak meninggalkan pakem (standar). Ragam hias itu berupa kepala hewan yang diletakkan pada gadik misalnya kepala naga, anjing, singabarong, garuda, bahkan puthut. Dengan ditambahkannya bentuk-bentuk itu, sekaligus nama keris itupun berubah, naga siluman, naga kembar, naga sosro, naga temanten, manglar monga, naga tampar, singa barong, nogo kikik, puthut dan lain-lainnya. Bahkan Jaman Kasultanan Mataram sejak masa Pemerintahan Sultan Panembahan Senopati, dunia Perkerisan tampak makmur lagi, lesan mewah tampak pada bilahan keris yang diserasah emas.
Daftar pustaka:
- Koesni (Pakem Pengetahuan Tentang Keris, 1979)
- Dr. John Miksic ( Seri Indonesian Hertage : Sejarah Awal, 2002)
- Prasida Wibawa (Pesona Tosan Aji, 2008)
- F.L. Winter (Kitab Klasik Tentang Keris, 2009)
- Bambang Harsrinuksmo (Ensiklopedia Keris, 2011)
- KRHT Hudoyo Doyodipuro, Occ (Keris Daya Magic – Manfaat – Tuah – Misteri, 2012)
- Ki Juru Bangunjiwa (Keris Gagrak Kasultanan Ngayogyakarta, 2014)
- kerispusakajawa.com/2017/05/empu-empu-keris-pusaka-keraton.html?m=1
- alangalangkumitir.wordpress.com/category/empu-keris/